Senin, 12 September 2011

KEKUATAN ISTIGFAR

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”. (Hud: 3)
Surat Hud yang pernah membuat Abu bakar terkejut saat melihat rambut Rasulullah saw beruban yang dijawab oleh Rasulullah dengan sabdanya, “Surat Hud dan saudara2nya telah membuat rambutku beruban”, ternyata sarat dengan perintah beristighfar yang disampaikan melalui lisan para nabiyuLlah dari Hud as, sholih dan syu’aib as.
Tercatat ada empat ayat di dalam surat ini yang menyebut perintah beristighfar, yaitu pertama ayat 3 di atas, ayat 52, 61, dan 90. Bahkan yang menarik, bahwa secara korelatif, perintah beristighfar pada ayat-ayat tersebut diawali dengan perintah menyembah dan mengabdi semata-mata kepada Allah, seperti dalam surat Hud: 2 misalnya, “Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya” (Hud: 2).
Betapa tinggi nilai perintah beristighfar sehingga selalu berdampingan dengan perintah beribadah kepadanya. Sehingga merupakan satu kewajiban sekaligus kebutuhan seorang hamba kepada Allah swt karena secara fithrah memang manusia tidak akan bisa mengelak dari melakukan dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Peluang ampunan ini merupakan anugerah rahmat yang terbesar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Terkait dengan hal ini, kebiasaan beristighfar mereflesikan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya dan pengakuan akan Ke-Maha Pengampunan Allah swt. Istighfar juga merupakan cermin dari sebuah akidah yang mantap akan kesediaan Allah membuka pintu ampunannya sepanjang siang dan malam. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah senantiasa membuka tanganNya di siang hari untuk memberi ampunan kepada hambaNya yang melakukan dosa di malam hari, begitu pula Allah swt senatiasa membuka tangan-Nya di malam hari untuk memberi ampunan bagi hamba-Nya yang melakukan dosa di siang hari”.
Catatan lain yang bisa dikaji adalah bahwa perintah beristighfar di dalam Al-Qur’an juga selalu beriringan dengan perintah bertaubat,” Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir mengemukakan rahasia penggabungan perintah beristighfar dan bertaubat pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an bahwa tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah swt melainkan dengan menunjukkan perilaku dan sikap “taubat” yang diimplementasikan dengan penyesalan akan kesalahan masa lalu, melepas ikatan-ikatan (jaringan) kemaksiatan dalam segala bentuk dan sarananya serta tekad yang tulus dan jujur untuk tidak mengulangi kembali perbuatan-perbuatan dosa di masa yang akan datang. Dalam kaitan ini, taubat merupakan penyempurna dari istighfar seseorang agar diterima oleh Allah swt.
Secara aplikatif, kebiasaan beristighfar sudah dicotohkan oleh Rasulullah saw. Tercatat dalam sebuat riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah (memberi pelajaran kepada umatnya) senantiasa beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan di riwayat Imam Bukhari beliau beristighfar setiap hari lebih dari 100 kali (Bukhari Muslim). Pelajaran yang diambil dari prilaku Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah melakukan kesalahan, tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini berlangsung senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita tanpa terkecuali.
Para malaikat yang jelas tidak pernah melanggar perintah Allah justru senantiasa beristighfar memohon ampunan untuk orang-orang yang beriman sebagai sebuah pelajaran yang berharga bagi setiap hamba Allah yang beriman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Al-Mu’min: 7)
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang istighfar, paling tidak terdapat empat keutamaan dan nilai dari amaliah istighfar dalam kehidupan seorang muslim:
1. Istighfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Ali Imran: 135)
2. Istighfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum nabi Hud yang dikenal dengan kekuatan mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa beristighfar untuk menambah kekuatan mereka. “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (Hud: 52). Bahkan Rasulullah dalam salah satu haditsnya menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan diantaranya dengan kesadaran mereka untuk selalu beristighfar, sehingga bukan merupakan aib dan tidak merugi orang-orang yang bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon ampunan kepada Allah swt.
3. Istighfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan rahmat Allah swt. Ibnu Katsir ketika menafasirkan surat Al-Anfal: 33 “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” menukil riwayat dari Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istighfar”. Bahkan Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
4. Istighfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rizki dan memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu katsir menafsirkan suarat Hud : 52 dengan menukil hadits Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa yang mampu mulazamah atau kontinyu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberi rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”. (Ibnu Majah)
Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh para nabiyuallah kepada kaumnya sebagai salah satu solusi dari permasalahan mereka. Tentu istighfar yang dimaksud tidak hanya sekedar ucapan dengan lisan “astaghfirullah”, tetapi secara aplikatif sikap waspada, mawas diri dan berhati-hati dan bersikap dan berperilaku agar terhindar dari kesalahan. Dan jika terjermus ke dalam kemaksiatan segera sadar dan mampu bangkit dari kesalahan dengan bersungguh-sungguh bertaubat dalam arti menyuguhkan pengabdian dan karya yang lebih bermanfaat untuk umat. Allahu A’lam.

TAUBAT NASUHA

Taubat Nasuha Cetak E-mail
  
Taubat adalah kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya.

Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."

Di antara kita pernah berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al Baqarah: 160 "Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari: "SesungguhnyaAllah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat."

Merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampai batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka dan sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya karena sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Tepatlah kiranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 133, "Bersegaralah kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah adalah "Taubat Nasuha", yaitu taubat yang murni. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim: 66, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bresamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan 'Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kamidan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'".

Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuatnya saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan brejanji untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap bani Adam (sesama manusia), maka caranya adalah dengan meminta maaf kepadanya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, "Apakah penyesalan itu taubat?", "Ya", kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala pernah mengatakan: "Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya".

Di bulan pengampunan, Ramadhan yang "Syahrul Maghfirah" ini adalah saat yang tepat untuk kita bertaubat. Bagi yang sudah bertaubat mari memperbarui taubatnya dan yang belum taubat mari bergegas kepada ampunan Allah. 10 hari kedua bulan Ramadhan merupakan masa maghfirah (ampunan) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Haurairah "Ramadhan, awalnya Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya dibebaskan dari api neraka" (H.R. Ibnu Huzaimah).